Selasa, 23 September 2008

Kilasan LASKAR PELANGI....




Sejatinya adalah Kesahajaan. Novel ini sesungguhnya hanya bercerita tentang kesahajaan. Kesahajaan yang ironis. Berdiam pada sebuah pulau yang kaya sumber alam, mereka justru hidup teramat berkekurangan, yang kata muluk sepadannya - kesahajaan. Ironi inilah yang dikemas menjadi sebuah alur cerita yang demikian menariknya, memukau walau kadang berlebihan, dan disampaikan dengan cerdas dan jenaka seakan membawa pembacanya ke alam Belitong tempat anak-anak Laskar Pelangi ini tumbuh dan ditumbuhkan. Humor-humor yang ditampilkan juga tidak basi, tidak mudah ditebak.

Saya memerlukan waktu lebih dari sebulan menamatkan buku pertama ini. Bukan karena cerita novel ini kurang menarik, tapi terlebih karena saya mesti banyak melewati ‘kesibukan’ yang luar biasa.

Cerita dalam novel ini dimulai dengan sebuah adegan yang miris. Di sebuah sekolah sederhana - bahkan teramat bersahaja - seorang kepala sekolah SD Muhammadiyah dan seorang guru yang tulus, menanti dengan cemas murid-murid barunya. Kalau di lingkungan kita umumnya, banyak sekolah yang menolak pendaftaran murid baru karena kelebihan peminat atau keterbatasan calon muridnya dalam memenuhi criteria pendaftaran, maka di SD Muhammadiyah ini justru kelimpungan mencari murid. Bukan karena sekolahnya teramat mahal - sesungguhnya kosa kata ini pun juga mahal ditemukan di novel ini - tapi karena rendahnya motivasi orang tua di pulau kaya timah itu untuk menempuh pendidikan.

Pendidikan dan Kemiskinan Struktural.Di pulau yang diceritakan penuh nestapa karena diselimuti kemiskinan terstruktur itu, kita seperti dihadapkan pada cermin retak realitas bangsa kita. Betapa terkadang jargon pendidikan murah, tidak serta merta menjadi solusi atau fasilitas menarik bagi masyarakat, terlebih ketika skala prioritas pendidikan ada jauh di daftar terbawah rakyat miskin. Tidak berminat pada sekolah bukan berarti bodoh tidak antusias pada pendidikan bukan berarti tidak sadar pentingnya pendidikan sebagai variable yang mampu menaikkan taraf kesejahteraan - jangka panjang. Mereka umumnya sadar bahwa pendidikan adalah investasi terbaik yang menjanjikan keuntungan terbaik di masa depan. Tapi konteksnya memaksa mereka mengatakan sebaliknya, lingkungan dimana mereka tinggal adalah lingkungan yang mengenal makan dan minum sebagai satu-satunya kebutuhan pokok yang ironisnya nyaris sulit dipenuhi bahkan untuk satu hari pun. Maka pendidikan menjadi soal yang sungguh tidak menarik untuk diprioritaskan. Ironis!

Sekolah itu ‘butuh’ sepuluh murid baru sebagai prasyarat terlaksananya kegiatan belajar mengajar. Jumlah sepuluh adalah jumlah yang ironis! Kurang dari sepuluh, maka sekolah itu bubar. Dana anak-anak itu mesti mencari sekolah lain yang jauh, tapi tidak kalah buruknya. Ada sekolah bertaraf internasional yang dibangun tak jauh dari lingkungan itu, tapi tentu saja tidak semua anak bias menginjakkan kakinya dengan leluasa, sekolah itu eksklusif hanya untuk anak-anak karyawan PT Timah - sebuah perusahaan pertambangan yang memonopoli sumber alam Belitong untuk jangka waktu lama di tahun 1970-1980an. Akhirnya, mereka dengan gembira meneriam murid kesepuluh, yang tak lain adalah seorang anak yang terbelakang mentalnya - sebuah prototype ironism yang lain.

Memukau dari Kesahajaan. Kemudian mengalirlah cerita-cerita lucu nan memukau dibalik kesahajaan para anggota Laskar Pelangi ini. Andrea Hirata berhasil menghadirkan sosok anak-anak polos nan jenaka dalam novel ini dengan bagus. Semua cerita jalin menjalin dengan alur yang runut. Hanya saja mungkin kadang membuat gusar pembacanya - terutama yang awam dengan istilah sains, apalagi bukan peminat - adalah berjubelnya istilah-istilah latin dari nama tumbuhan atau hewan dalam novel ini. Di novel ini, Andrea banyak menghamburkan halaman-halaman demi menceritakan keindahan suatu tempat dengan istilah dan nama sains yang berlebihan. Perlu dan penting sebenarnya - terutama mengingat karena Andrea Hirata juga adalah peminat sains meski bidang keahlian sesungguhnya adalah ekonomi - tapi bagi saya cukup mengganggu.

Buku ini memuat banyak muatan pesan moral, betapa kerja keras dan kesungguhan bisa menjadi jembatan meraih impian - walau tak semua. Sesugguhnya inspirasi dari kesungguhan untuk mewujudkan cita-cita adalah modal dasar bangsa ini apabila hendak berkembang. Tak berhenti bersemangat, terutama untuk memperbanyak pundi-pundi kebaikan lewat jalur kesahajaan, tentu bisa menggelontorkan semua cela yang kini dihadapi bangsa kita.

Terkadang Bombastis. Walaupun demikian, banyak kejadian yang diceritakan dalam novel ini sungguh teramat berlebihan. Seperti tingkat kecerdasan paripurna dari seorang Lintang, anak laut yang tidak punya gineologi jenius dalam trah keluarganya, tapi mampu menerangkan teroema Newton dan Descartes dengan runut danm kemudian membandingkannya dengan sempurna. Juga kecerdasan-kecerdasan lain yang terkesan melampaui batas kewajaran yang diperlihatkan dari sosok Lintang. Demikian juga tentang Mahar. Anak yang over kreatif dalam karya seni ini rupanya diceritakan mampu mengadaptasi demikian banyak referensi seni dari seluruh penjuru dunia, bahkan dia mengenal secara dramatis seni tari Afrika, yang kalauy dipikir-pikir tentu tak bisa dipenuhi hanya dengan membaca di perpustakaan sekolah Muhammadiyah yang pasti terbatas judul dan jumlah buku, majalahnya. Berlebihan, namun kelihatannya masih bisa dipahami. Betapa kesahajaan juga bisa meletup mencengangkan.

Akhir Ironis Lintang - The Phenomenon. Satu yang membuat saya tertegun di akhir cerita, ketika membaca akhir seorang Lintang yang ‘hanya’ menjadi seorang pekerja kasar bangunan. Sebuah akhir yang ironis buat Lintang. Sebuah cermin ketakberdayaan menantang kerasnya hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment please on My Blog WORLD SECRET